Lebaran, Terlalu banyak Mudarat dibanding Manfaat ?
Saat penulisan awal artikel ini, lebaran belum lama berlalu, hampir sebulan yang lalu dan kenapa baru adalah karena saya sedang jarang sekali menulis. Belakangan ini lebih sering ngobrol di dapur bersama dengan keluarga sekedar mendiskusikan mengenai "Ruang, waktu hingga sedikit menyerempet ke masalah paradox dan lingkungan". Dan belum lama ini juga sempat saya diskusikan mengenai masalah lebaran ini menjelang lebaran.
Mungkin tulisan ini tidak akan terbit sejalan dengan awal penulisan ini entah dengan alasan apapun dan sebisanya saja saya terbitkan.
Baiklah cukup basa-basi nya. Kita bahas saja mengapa saya mempertimbangkan Manfaat dan Mudarat pada lebaran dan apakah ada bahkan Kemudaratan pada acara Lebaran yang dirayakan setahun sekali oleh muslim ?
Mari kita bahas secara netral dan tanpa ada tendensi apapun selain dari menjawab keresahan dan banyak fakta yang mungkin selama ini bahkan jarang dipikirkan oleh sebagian besar pelakunya.
Lebaran, itu sangat erat kaitannya dengan masalah agama dan tidak luput juga dengan tradisi budaya yang sudah mengakar mungkin sejak abad ke 14 Masehi. Dan jujur saja selama 25 tahun saya hidup tidak pernah mempertanyakan banyak hal pada lebaran selain misalnya "suasananya tidak semenarik dulu saat kecil", hingga kemudian saya menyadari satu hal mendasar yakni mengenai tradisi yang terjadi seiring dengan perayaan ini, yakni mudik. Dan dari sana lah segala kerasahan ini muncul dan terakumulasi.
Kita mulai dari Lebaran.
Apa itu Lebaran ?
Sekedar informasi, "Lebaran" hanya terjadi di Indonesia saja. Tidak di negara lain, yang bahkan negara terdekat dengan kita yang masih melayu juga menyebut hari raya Idul Fitri dengan kata "Raya" saja.
Apa arti kata "Lebaran" ?
Menurut KBBI, arti Lebaran adalah "Hari raya para umat islam pada 1 Syawal setelah ibadah puasa selesai dijalankan selama bulan ramadan". Betulkah demikian ?
Ya itu menurut kamus resmi yang diberlakukan di Indonesia. Tapi apakah itu valid jika merujuk pada arti secara bahasa dan asal-usul bahasanya sendiri ? Hmmm
Darimana muncul kata lebaran ?
Mau tidak mau, kita akan menggunakan mesin waktu untuk kembali ke masa lalu jauh sebelum hari ini bahkan sebelum abad 14 Masehi.
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, Hindu atau sejenisnya sudah diyakini oleh warga bangsa ini yang tentunya sudah disesuaikan dengan kearifan lokal, dan hal itu sangat lumrah terjadi dimanapun itu.
Dan kita pun harus mengerti bahwa kata-kata yang akrab di telinga kita selama ini seperti Puasa, Surga dan Neraka pun adalah serapan dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh Hindu masa lalu.
Upawasa : Ritual pendekatan diri dengan ilahi yang kemudian diserap menjadi Puasa saat islam masuk dan menyebar.
Svarga : Suwarga yang merupakan tempat indah yang dikuasai Dewa Indra dan Istrinya dengan ibukota Amarawati dan merupakan tempat untuk orang-orang yang taat sebelum kembali dilahirkan. Kemudian kata ini diserap menjadi Surga meskipun memiliki deskripsi yang berbeda, namun konsep yang sama yakni tempat indah untuk orang beriman.
Naraka : Tempat penyiksaan yang dikepalai Dewa Yama dan diperuntukkan bagi sesiapa saja yang ingkar dan menjalani hidup dengan budi yang buruk. Kata ini kemudian diserap menjadi "Neraka" yang merupakan tempat penyiksaan untuk orang-orang kafir di alam akhirat nanti setelah kiamat.
Pembahasan mengenai Kiamat bisa anda baca di tulisan ini.
Lalu apakabar dengan Lebaran ? Hmmm ya... ini juga masih erat kaitannya dengan kepercayaan Hindu yang merupakan pemilik dari istilah perayaan ini. Khususnya Hindu Jawa "mungkin" karena Lebaran yang digunakan disini berasal dari bahasa Jawa yang berarti "Selesai".
Dan "Lebaran" sendiri merupakan acara yang digelar sebagai peringatan akan berakhirnya Upawasa bagi kalangan Hindu di Jawa. Dan mungkin itulah yang menjadi alasan mengapa istilah "Lebaran" hanya dikenal di Indonesia.
Tradisi Lebaran
Ada beberapa tradisi yang erat sekali kaitannya dengan lebaran yang bahkan bisa terjadi dua kali dalam setahun masehi ini. Apa saja ?
Ketupat
Ketupat merupakan hidangan yang "biasanya" dijadikan ornamen dekoratif pada hal-hal berbau lebaran seperti kartu ucapan, banner bahkan menjadi hidangan utama dalam tradisi di berbagai tempat saat perayaan lebaran. Umumnya disandingkan dengan Opor ayam sebagai bumbunya.
Nah Ketupat sendiri, merupakan penganan yang dibuat dari beras dibungkus daun kelapa muda yang merupakan budaya umat Hindu sebagai bentuk persembahan untuk Dewi Sri yang merupakan dewi Kesuburan untuk wilayah agraris. Yang kemudian seiring berjalannya peradaban, Ketupat ini menjadi simbol dari Dewi Sri itu sendiri.
Pada era kerajaan Islam, Ketupat ini digeser makananya dikaitkan dengan "Pengakuan Dosa" (Ngaku lepat), Laku papat yang kemudian dikaitkan dengan lebaran (pintu maaf), luberan (kelimpahan), leburan (saling memaafkan) dan laburan dari kata labur yang berarti putih atau bersih (dari dosa).
Umat Hindu Jawa kuno sendiri biasa menggantung ketupat pada acara-acara mereka yang salah satunya adalah Lebaran.
Baru pada era kerajaan Islam, Ketupat ini dirubah esensinya dan disandingkan dengan Lebaran versi Islam untuk disantap bersamaan dengan Opor ayam yang gurih.
Opor Ayam
Opor ayam merupakan olahan khas Solo yang merupakan perpaduan resep China dan India tentunya dengan sentuhan kearifan lokal. Olahan ini muncul sebagai alternatif menu untuk warga biasa yang ingin menikmati santapan raja berupa olahan daging. Namun karena daging bukanlah komoditas umum seperti sekarang ini, maka terciptalah Opor ayam.
Halal bihalal : Acara yang sering digelar pasca lebaran sebagai pertemuan silaturahmi dan acara saling maaf-memaafkan. Acara ini banyak dijumpai di berbagai sektor, mulai dari sekolah hingga perusahaan tertentu. Dan hal ini sudah terjadi sangat lama, kembali ke tahun 1725 di era Mangkunegaran 1. Kegiatan ini biasa dilakukan saat lebaran di balai kerajaan untuk berkumpul dan saling bermaaf-maafan demi menghemat waktu dengan nama "sungkeman".
Sementara untuk istilah Halal bihalal sendiri diperkirakan muncul dari area yang sama yakni Solo tepatnya di taman Sriwedari kisaran tahun 1930 an. Berawal dari penjual Martabak asal India yang mulai menjajakkan menunya kala itu. Mengingat Martabak merupakan jajanan baru di Nusantara, dan saat itu Islam suda berkembang pesat di Jawa, maka supaya dagangannya diterima masyarakat ia selalau meneriakkan kata berulang saat berjualan. Martabak malabar Halal bin Halal... Halal bin halaaal !!!
Sejak saat itu, masyarakat menyebut acara berkumpul di taman Sriwedari saat lebaran adalah acara "Halal bihalal" yang maksudnya adalah "ngumpul ditempat yang ada halal bin halalnya" itu.
Mudik
Pulang kampung, merupakan bahasa melayu yang memang sudah digunakan sedari jaman dulu untuk menyebut kegiatan pulang ke kampung halaman. Dan ini sama sekali bukan tradisi yang terkait dengan perayaan tertentu. Meskipun pada akhirnya, kata "mudik" pada akhirnya disematkan dengan kepulangan menjelang lebaran. Karena memang, fenomena mudik bersamaan hanya terjadi pada saat perayaan lebaran. Dan umumnya memakan banyak korban, yang bahkan lebih dari 35 jiwa perhari.Lalu kembali ke pertanyaan awal mengenai manfaat dan mudarat dari Lebaran itu sendiri, apa saja ?
Manfaat Lebaran
1. Memperkuat tali silaturahmi sampai memperpanjang umur. Yang tentu saja kita singkirkan hal ini sesuai dengan aturan diatas.
2. Ada selain dari itu ?
Mudarat Lebaran
Ada beberapa hal yang kerap terjadi dan bahkan terbilang menjadi tradisi berkaitan dengan lebaran yang selalu terjadi setiap tahunnya, dan beberapa diantaranya bisa dilihat dibawah ini.
Inflasi
Setiap menjelang lebaran, ada istilah THR yang sekarang mungkin kerap disebut gaji ke 13 sebagai upah tambahan berupa tunjangan hari raya. Dengan adanya dana tambahan ini, membuat perilaku konsumtif masyarakat bertambah sehingga menimbulkan inflasi musiman.
Harga cenderung melonjak naik menjelang dan pasca lebaran disebabkan animo masyarakat dalam berbelanja perlengkapan lebaran membuat para spekulan bermain harga tanpa aturan.
Biasanya BI juga mencetak uang baru untuk menunjang kebutuhan penukaran uang untuk dibagikan ke sanak saudara, membuat terlalu banyak uang beredar di masyarakat. Untuk tahun 2024 sendiri kabarnya BI tidak mencetak uang baru melainkan hanya merilis uang layak edar (ULE).
Penutupan Layanan
Diakibatkan adanya tradisi mudik yang terjadi secara serentak, cuti bersama hingga beberapa hari membuat beberapa layanan publik terpaksa harus tutup atau berhenti beroperasi sementara. Dan ini tentu mengurangi nilai produksi selama masa lebaran tersebut.
Mungkin bagi pekerja, ini merupakan moment penting dan luar biasa, selain libur panjang juga mendapat tunjangan hari raya berupa upah satu kali gaji. Tapi coba lihat dari arah sebaliknya, disaat operasional harus terhenti diakibatkan libur panjang, perusahaan juga harus memberikan tunjangan satu kali gaji kepada para karyawan. Bukankah itu tindakan yang merugikan ?
Itulah mengapa tidak sedikit perusahaan yang menerapkan outsourcing yang berakhir kontrak menjelang lebaran demi memangkas pengeluaran dalam bentuk tunjangan hari raya. Sehingga dampaknya, banyak pekerja yang terpaksa mudik karena memang sudah selesai kontrak dan harus pulang.
Macet
Peristiwa mudik bersamaan yang terjadi, tentu saja mengakibatkan kemacetan luar biasa di hampir seluruh ruas jalan lintas propinsi di Indonesia. Dan hal ini terjadi di seluruh bentuk akomodasi mulai dari darat, laut hingga udara. Padatnya penumpang membuat pemerintah dan perusahaan transportasi harus membuat skema khusus untuk bisa menunjang kebutuhan masyarakat ini. Dan akibatnya, macet diseluruh sektor.
Gangguan Logistik
Dampak dari kemacetan ini tentu banyak, salah satunya adalah gangguan pengiriman logistik. Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan transportasi terganggu, dan salah satunya adalah pengiriman dari seluruh daerah ke daerah lain. Bahkan beberapa ekspedisi pun menutup operasional pengiriman menjelang hingga pasca lebaran yang membuat transaksi tersendat.
Penambahan anggaran
Kondisi lalu lintas yang padat luar biasa membuat petugas harus beramai-ramai turun ke jalan demi mengatur skema lalu lintas. Dan tentu saja itu semua membutuhkan anggaran dari pemerintah untuk menangani masalah tersebut. Disaat banyak hal yang berkaitan dengan ekonomi terganggu, justru anggaran naik, itu kan sama sekali tidak sehat.
Kecelakaan
Tidak sedikit kecelakaan yang datanya terlampir diatas diakibatkan oleh padatnya pengguna jalan secara bersamaan. Dan tentu saja, hal itu merugikan banyak pihak sekaligus.
Budaya Minta-minta
Sedari kecil saya merasakan itu dan biasa saja, tapi belakangan cukup menjadi keresahan yang cukup mengkhawatirkan, ditambah lagi pengalaman saya mengikuti acara dari tradisi lain yang merupakan pengalaman pertama saya yang bisa anda simak pada tulisan ini.
Saya melihat ada perbedaan mendasar sekali dari dua tradisi tersebut, salah satunya mengajarkan untuk saling mendoakan untuk kekayaan dan kemakmuran, sementara satu yang lain mengajarkan untuk selalu meminta, "meminta maaf dan meminta THR".
Silahkan tambahkan sesuai dengan apa yang anda ketahui dan berdasar dari pengalaman anda, karena masih terlalu banyak disini hal negatif yang terjadi.
Sampai disini, maka perlu juga kita kembalikan ke masalah bahasan diawal mengenai tradisi yang melingkupi lebaran dan mengapa kemudian mengundang banyak kemudaratan dibanding manfaat, yakni budaya.
Apa yang kita jalani selama ini merupakan hasil dari budaya, yang seharusnya jika merujuk pada "apa itu budaya" sendiri, maka ia haruslah berkembang dan memberikan banyak manfaat, bukan justru sebaliknya.
Kalau sudah begini, lantas apa ?
Mungkin, perlu untuk dikaji ulang bagaimana ritual kemudian menjadi satu paket dengan budaya dan kembalikan kesakralan agama kepada keasliannya, bukan yang sudah tersemat dengan budaya tertentu yang dalam kasus ini adalah Lebaran, mudik, THR dan seabrek kawanannya yang bukan merupakan produk asli agama yang merayakan, melainkan hasil olahan dari berbagai macam serapan budaya yang kemudian disepakati berjuluk tradisi.
Penting untuk kita menilik balik asal muasal tradisi yang selama ini kita "hormati" dengan dalih menghormati leluhur supaya kita bukan hanya pelaku tanpa tau asal usul dan esensinya dan sekedar bersorak sorai namun tidak mengerti apapun dibalik semua aktifitas tersebut.
Dan jika ada yang mempermasalahkan pendapat saya atau hanya sekedar mempertanyakan, maka sudah saya sampaikan bahwa saya bukan orang tradisional dan tidak mengikuti tradisi manapun sesuai hati nurani, dan adapun saya mengikuti sebuah perayaan, sebatas mewajarkan diri seraya terus berusaha untuk memberi pengertian akan sebuah pemahaman. Setidaknya dari sudut pandang saya pribadi.
Silahkan berpendapat.
Post a Comment
Ada pertanyaan? Diskusikan dengan penulis atau pembaca lain
Tulis Pertanyaan